Senin, 23 Agustus 2010

Mengapa MaLaysia seLaLu Memprovokasi Indonesia.....?

Hubungan Indonesia dengan Malaysia kembali diuji. Tindakan Negeri Jiran itu menahan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan yang ditangkap di perairan Kepulauan Riau, pekan lalu mengundang reaksi keras dari masyarakat. Peristiwa terjadi di perairan Tanjung Berakit, Bintan, sekitar pukul 22.00 waktu setempat, Jumat 13 Agustus 2010. Penangkapan terjadi tidak lama setelah ketiga petugas itu menahan tujuh nelayan asal Malaysia yang melakukan aktivitas mencurigakan di kawasan perbatasan laut wilayah Indonesia.

Namun, saat tengah menarik kapal milik nelayan ilegal itu, mereka dikejar oleh aparat Malaysia dengan tembakan yang diikuti penangkapan dan penahanan. Sedangkan tujuh nelayan yang tertangkap sudah terlebih dahulu diangkut dengan speedboat ke Batam. Tindakan provokatif Malaysia terhadap Indonesia bukan baru pertama kali ini saja. Beberapa kali negara serumpun itu bertindak seolah-olah sengaja memancing kontroversi, misalnya dengan mengklaim karya-karya tradisi asli Indonesia sebagai milik kekayaan bangsa Malaysia.

Upaya ’’invasi’’ di ranah budaya ini dapat dikatakan sudah memprihatinkan, bahkan keterlaluan. Entah sudah berapa banyak produk budaya dan kesenian negeri ini yang diklaim oleh negara lain, terutama Malaysia. Sebut saja Reog Ponorogo, batik, angklung, rendang, Rasa Sayange, hingga terakhir, Tari Pendet yang jelas-jelas milik rakyat Bali. Sedikit ada kelegaan karena Norman Abdul Halim, produser film dokumenter Malaysia, meminta maaf atas klaim batik dan Tari Pendet serta menghentikan iklan Enigmatic Malaysia di Discovery Chanel.

Sangat dipahami apabila tindakan Malaysia membuat bangsa kita geram. Kegeraman itu bukan hanya tertuju pada Malaysia, tetapi juga pada pemerintah yang dinilai kurang tegas bersikap. Dalam kaitan ini, bangsa Indonesia rupanya masih terpateri pada memori konfrontasi 1961 pada era pemerintahan Soekarno, ketika presiden pertama RI itu menggelorakan semangat ’’Ganyang Malaysia’’. Konfrontasi itu dipicu oleh keinginan Malaysia menggabungkan Brunei, Sabah, dan Sarawak dalam satu wilayah kedaulatan negara itu.

Di balik semua itu, sudah sepatutnya pula kita bertanya secara jujur kepada diri sendiri. Mengapa negara tetangga itu sedemikian sering mengusik ketenangan kehidupan bernegara dan berbangsa kita? Dibandingkan, misalnya, dengan Singapura yang dipandang sebagai ’’sempalan’’ Melayu atau negara-negara lain di kawasan Asia, gangguan terhadap Indonesia termasuk paling banyak. Ada pesan terselubung bahwa Indonesia dipandang lemah dalam menegakkan kedaulatan di berbagai sektor, sehingga pantas untuk diganggu.

Secara militer misalnya, kita lebih terbelakang dibandingkan dengan negara-negara sahabat. Provokasi Malaysia lagi-lagi menjadi peringatan atas seberapa serius dan seberapa keras kita menjaga daulat negeri. Dari 17.000 lebih pulau, masih banyak yang belum dinamai. Kekayaan seni dan budaya Indonesia juga semakin terbengkalai, tidak terdokumentasikan dengan baik, apalagi terjaga dan terkonservasi. Diawali dengan daulat kebudayaan itulah, bangsa Indonesia akan bisa berdiri tegak sama tinggi dengan bangsa lain.

sumber: SM Cetak

1 komentar:

L mengatakan...

repost!!!!